Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo yang
populer dipanggil Jokowi dan Muhamad Jusuf Kalla sedang menyiapkan transisi
kepemimpinan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sembari menunggu
pelantikan pada tanggal 23 Oktober mendatang. Indonesia sebentar lagi akan
memiliki presiden baru yang merupakan presiden ke-7. Harapan masyarakat
terhadap Presiden terpilih Jokowi sangat besar, dan berharap terjadi perubahan
yang signifikan untuk Indonesia. Harapan tersebut ternyata tidak hanya dari
masyarakat Indonesia saja tetapi juga dari masyarakat internasional yang
mengharapkan Indonesia sebagai negara muslim dan demokrasi yang besar di dunia
bisa menjadi negara yang demokratis dan sejahtera serta ikut berpartisipasi
dalam panggung dunia. Namun tampaknya Jokowi sebagai Presiden terpilih tidak
akan sempat berbulan madu atau terbuai dalam suka cita, karena akan menghadapi
tantangan yang berat begitu pelantikan di bulan Oktober mendatang dan begitu
SBY menyerahkan tampuk kekuasaannya. Warisan berbagai masalah akan langsung
dihadapi di depan mata, dari RAPBN 2015 yang sulit untuk memenuhi janji politik,
defisit anggaran yang cukup besar, ruang
fiskal yang sempit, hutang pemerintah yang makin membesar dengan debt service
ratio yang makin meningkat dari tahun ke tahun, subsidi BBM yang membengkak
bagai gajah dan menjadi beban yang sangat mengganggu karena menyedot habis
anggaran pembangunan, juga kelangkaan BBM yang terjadi di hampir semua wilayah
di Indonesia karena adanya pengurangan kuota BBM. Di pihak lain Jokowi juga
menghadapi tantangan untuk merumuskan arsitektur kabinet yang tepat dan
efisien, yang sekarang ini sedang ditangani oleh Kantor Transisi.
Janji Politik
Janji-janji politik selama Pemilu Presiden sudah tercatat
dengan baik di benak masyarakat Indonesia, dan tentu saja masyarakat tidak akan
lupa serta setiap saat akan terus menagihnya sampai janji itu dilunasi. Sudah barang
tentu Presiden terpilih harus bekerja keras untuk mewujudkannya selama periode
lima tahun jabatannya. Bila janji itu tidak ditepati, masyarakat akan memberi
sangsi pada pemilu mendatang tidak akan memilihnya lagi. Banyak program populis
yang ditawarkan ke masyarakat, seperti Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu
Indonesia Pintar (KIP), subsidi untuk masyarakat miskin, pupuk dan benih untuk
petani, bantuan untuk nelayan, pembangunan desa, bantuan untuk UMKM, penguatan
industri kreatif, perluasan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan buruh,
peningkatan pelayanan masyarakat atau public services melalui pelayanan
elektronik yang cepat, mudah dan murah khususnya di bidang perijinan. Belum
lagi pemerintah baru harus merealisasikan janji-janji besar lainnya seperti
poros maritim dunia dan tol laut, masalah infrastruktur, kedaulatan pangan dan
energi, peningkatan kualitas dan sarana pendidikan serta pendidikan yang bisa
diakses dan terjangkau seluruh masyarakat, peningkatan kualitas SDM,
peningkatan derajad kesehatan masyarakat, pengurangan impor dan peningkatan
ekspor, masalah pertambangan, masalah kemiskinan, pengangguran, peningkatan
alutsista TNI dan pertahanan nasional serta industri strategis, lingkungan
hidup, kebudayaan dan penguatan sektor-sektor lainnya. Bisakah janji-janji dan
harapan itu diwujudkan oleh pemerintah baru? Tentu harus bisa terwujud meskipun
perlu kerja sangat keras. Bukan sekedar janji pemilu yang menguap begitu saja
bak pepatah lidah tak bertulang, seribu janji kan kuberi. Namun demikian dengan
melihat postur RAPBN 2015 yang tidak menyisakan ruang untuk program-program
pemerintah baru karena habis untuk mendanai subsidi BBM dan membayar pokok dan bunga hutang yang
ratusan triliun karena sektor pendapatan yang berkurang. Sektor pendapatan yang
tidak bisa digenjot dan cenderung malah turun, padahal sektor pembiayaan justru
makin meningkat menyebabkan adanya defisit
anggaran ratusan triliun pada RAPBN 2015. Lalu bagaimana Jokowi dan tim
kabinetnya nantinya bisa mewujudkan janji-janji politik yang sudah telanjur
menggelinding di masyarakat. Mau tidak mau Jokowi dan tim transisinya mesti
duduk bersama dengan Presiden SBY dan timnya untuk membahas revisi, penajaman
dan perampingan atau pemotongan dari RAPBN 2015, juga defisit anggaran harus
bisa dikurangi secara signifikan kalau memang tidak mungkin untuk ditiadakan.
Pembahasan ini sudah pasti akan terkait dengan pengurangan subsidi BBM, untuk
dapat dilakukan realokasi ke program dan
kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan dan pendapatan masyarakat,
penanggulangan kemiskinan, serta membantu pertumbuhan ekonomi mikro dan
mendorong kewirausahaan serta pertumbuhan ekonomi rakyat. Tampaknya janji-janji
Jokowi hanya beberapa yang akan bisa direalisasikan pada tahun 2015 dengan
melihat RAPBN 2015, kecuali Jokowi dan tim ekonomi SBY bisa menemukan solusi
yang tepat dan dapat mengakomodasi beberapa program Presiden terpilih. Misalnya
dengan melakukan penajaman dan pemangkasan anggaran dan program/kegiatan yang “gemuk”,
dan juga program/kegiatan yang cenderung “overlapping” di antara kementerian
dan lembaga pemerintah non-kementerian. Disamping itu penajaman dan realokasi
anggaran pada RAPBN 2015 juga sangat tergantung dari postur arsitektur
kabinet Jokowi.
Perampingan
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian
Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang
Kementerian Negara, dalam menjalankan tugasnya Presiden dapat membentuk Menteri
Koordinasi dan Menteri dengan mempertimbangkan efisiensi, efektivitas, cakupan
tugas dan proporsionalitas beban tugas, kesinambungan, keserasian dan
keterpaduan pelaksanaan tugas serta perkembangan lingkungan global dengan
jumlah keseluruhan paling banyak tiga puluh empat kementerian dalam tenggang
waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan
sumpah/janji. Sehingga Presiden hanya mempunyai waktu yang pendek sekitar dua
minggu setelah pengucapan sumpah/janji untuk membentuk kabinet yang akan membantunya.
Dengan demikian apa yang dilakukan Jokowi bersama Tim Transisi sudah tepat,
yaitu mempersiapkan arsitektur kabinet dari semenjak sekarang dengan menerima
masukan dari berbagai pihak. Berdasarkan ketentuan undang-undang, jumlah
kementerian paling banyak 34 dan bisa kurang dari jumlah tersebut.
Namun demikian terdapat beberapa kementerian yang
berdasarkan ketentuan undang-undang tidak boleh diubah dan dibubarkan, yaitu
Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan.
Sedangkan khusus untuk Kementerian agama, hukum, keuangan dan keamanan hanya
dapat diubah melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. U ntuk Kementerian lainnya bisa
dilakukan pengubahan dengan penggabungan, pemisahan atau pembubaran yang
mempertimbangkan beberapa aspek sesuai ketentuan undang-undang, Presiden akan
minta pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat dengan waktu paling lama tujuh hari
kerja sejak surat Presiden diterima DPR. Bila selama tujuh hari kerja sejak
surat Presiden diterima DPR, dan DPR belum memberikan pertimbangan maka secara
langsung dianggap DPR telah memberikan pertimbangan. Meskipun undang-undang
memperbolehkan untuk melakukan penggabungan, pemisahan atau pembubaran
Kementerian, namun perlu diingat dan dipertimbangkan pula secara hati-hati dan
seksama dampak dari hal tersebut. Bila kita ingat pada waktu era Presiden
Abdulrahman Wahid atau Gus Dur yang telah membubarkan Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial, kemudian melakukan penggabungan Departemen Perindustrian dan
Perdagangan, dan penggabungan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah
mengakibatkan goncangan yang hebat di kalangan pegawai dan masyarakat. Dampak
pembubaran dan penggabungan itu begitu pelik dan kompleks baik yang menyangkut
pegawai, asset, dampak psikologis pegawai dan masalah kultur organisasi yang
tidak bisa diselesaikan dalam setahun. Sehingga menyebabkan kerugian yang luar
biasa, karena program dan kegiatan untuk masyarakat menjadi terabaikan.
Sehingga pada akhirnya Departemen Sosial dihidupkan lagi, juga Departemen
Penerangan dihidupkan lagi dengan baju baru Kominfo. Demikian pula Departemen
Perindustrian dan Perdagangan dipisah lagi. Jadi pemilihan opsi, apakah jumlah
kementerian dalam posisi status quo atau tetap 34, atau jumlahnya dikurangi
beberapa, atau menjadi sangat ramping sekitar 20-25, semua itu agar melalui
kajian yang mendalam dengan mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan. Selain
itu adanya perampingan jumlah Kementerian akan menyebabkan Presiden dan
pembantunya akan habis waktunya untuk mengurusi masalah pegawai dan sarana dan
prasarana atau asset yang akan dilimpahkan. Program-program Presiden akan
terhambat, atau janji-janji politik Presiden akan sulit diwujudkan, dan
kemungkinan pada tahun 2016 baru bisa berjalan normal. Belum lagi Presiden akan
mengalami sikap resistensi dari aparat birokrasi. Kemudian juga dampak
penggabungan dan pembubaran Kementerian tersebut bak bola salju akan menggelinding ke
pemerintah daerah. Pemerintah daerah pasti harus melakukan penyesuaian melalui
reorganisasi dan revisi anggaran, yang membutuhkan waktu yang panjang karena
harus melalui Perda yang disusun bersama DPRD.
Alangkah baiknya bila pemerintah baru yang dipimpin Presiden
terpilih Jokowi sementara ini masih mempertahankan Kementerian yang ada, atau
hanya melakukan perubahan atau penyesuaian nama Kementerian sesuai visi dan
misi yang diharapkan, atau melakukan perubahan sangat minimal terhadap
Kementerian yang tidak menangani program untuk masyarakat secara langsung,
misalnya dengan menghilangkan Menteri Sekretaris Kabinet, kemudian kewenangan, urusan dan
tupoksinya digabungkan dengan Sekretariat Negara. Usulan tersebut dilakukan
dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: Pertama, melakukan penyerasian
untuk kewenangan, urusan, dan tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) di
masing-masing kementerian. Oleh karena ada kecenderungan tumpang tindih dalam
aspek-aspek tersebut di antara beberapa Kementerian dan Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian. Ada indikasi beberapa Direktorat Jenderal/Deputy atau
direktorat/biro dibentuk hanya untuk mencarikan jabatan untuk para pejabatnya. Misalnya,
di Kementerian Perhubungan terdapat Dirjen Perkereta-apian. Apakah tidak
sebaiknya Dirjen tersebut dihilangkan, selanjutnya kewenangan, urusan dan
tupoksinya dikembalikan ke PT. KAI. Sehingga tidak ada dua nahkoda yang
menangani perkereta-apian di Indonesia. Juga di Kementerian Dalam Negeri
terdapat nomenklatur Dirjen (Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil) sama dengan
Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). Kedua, penyerasian,
pengelompokan dan penajaman beberapa program dan kegiatan yang ada di
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian, karena terdapat beberapa
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian yang sama-sama menangani
program yang sasarannya anak, remaja, bantuan sosial, pemberdayaan ekonomi. Selain
itu terdapat beberapa program dan kegiatan yang dilaksanakan bukan merupakan
“core business” lembaga tersebut. Ketiga, dengan adanya penyerasian kewenangan,
urusan dan tupoksi serta program, maka perlu dilakukan reorganisasi dengan
melakukan perampingan di struktur organisasi Kementerian dan Lembaga Pemerintah
Non-Kementerian, karena sebagian besar Kementerian memiliki organisasi yang
cenderung “gemuk” dan dibentuk untuk memperbanyak jabatan di lembaga tersebut
atau untuk pemerataan alias bagi-bagi
jabatan. Pengurangan jumlah Dirjen/Deputy dan Direktorat/Biro perlu dilakukan,
sehingga gerak lembaga tersebut lebih
lincah dan fokus hanya menangani program/kegiatan yang menjadi “core
business”-nya, dan dengan sendirinya akan menghemat anggaran dan dapat
dilakukan realokasi anggaran ke program /kegiatan lainnya.
Program Prioritas dan
Strategis
Sesuai visi dan misi serta janji-janji politiknya, Presiden
terpilih Jokowi memiliki beberapa program unggulan atau prioritas, dan akan
menjadi program nasional yang strategis. Untuk bisa meluncurkan program
nasional strategis tersebut tentu diperlukan lembaga yang efektif dan efisien
serta lincah geraknya, yang didukung dengan SDM yang kompeten dan mau bekerja
keras. Dengan melalui pembenahan dan perampingan atau reorganisasi di
Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non-Kementerian maka diharapkan janji-janji
politik Presiden dapat dijalankan dengan baik di tingkat pusat. Agar program
nasional strategis yang menjadi andalan Presiden bisa meluncur dengan mulus
sampai ke daerah tentu membutuhkan komitmen besar pula dari pemerintah daerah
Propinsi dan Kabupaten/Kota. Masalah yang mungkin menghadang setelah era
otonomi daerah sekarang ini adalah pertama, sebagian besar Kementerian tidak
punya “kaki” atau dinas vertikal di Propinsi dan Kabupaten/Kota, kecuali
Kementerian Keuangan, Kementerian Agama, Kementerian Hukum dan Hak Azasi
Manusia, dan Kantor Pengadilan. Kedua, banyak Kepala Daerah yang berasal dari partai
yang bukan pengusung Presiden Jokowi. Ketiga, komitmen yang kurang dari Kepala
Daerah di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota terhadap program pusat khususnya
yang bukan program fisik dan yang diinginkan mereka hanya uang dari pusat.
Keempat, nomenklatur dari Dinas/Kantor
yang berbeda dari Kementerian sehingga sering merepotkan koordinasi antara
pusat dan daerah. Untuk mengatasi masalah tersebut, dan supaya Presiden bisa
melaksanakan program nasional dengan berhasil, maka untuk program-program nasional
strategis misalnya di bidang infrastruktur,
kesehatan, pendidikan, pangan, maritim, pemberdayaan ekonomi rakyat/UMKM
dan program strategis lainnya agar ditangani Kementerian dengan didukung
Intansi Vertikal di Propinsi dan Kabupaten/Kota sebagai kepanjangan tangan
pemerintah pusat. Instansi-instansi vertikal di Propinsi dan Kabupaten/Kota
tersebut pegawai dan pejabatnya diangkat dan berstatus sebagai pegawai pusat.
Sehingga apabila tidak berhasil maka pemerintah pusat bisa mengganti dan
memberi sangsi kepada mereka. Hal tersebut
tentu akan lebih menjamin keberhasilan program-program nasional yang
menjadi unggulan. Selanjutnya diperlukan pula kerjasama, bantuan/dukungan dan
koordinasi dari para Kepala daerah di Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Drs. H. Bambang P.
Sumo, MA
Pemerhati Masalah Sosial, Politik dan Budaya; Alumni
University of Hawaii at Manoa, USA; dan Health Communication Program, School of
Public Health, Johns Hopkins University, USA
Dimuat di Harian Kabar Banten, 26 Agustus 2014